Oleh : Iswandi Dedy
Subulussalam,Buktpetunjuk.id —Ketika pemerintah pusat mewacanakan penyesuaian atau pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) hingga 25 persen, banyak daerah di Indonesia mulai merasa was was. Bukan tanpa alasan. Bagi sebagian besar pemerintah daerah, terutama di luar Jawa, dana transfer dari pusat adalah nadi utama pembangunan dan layanan publik.
Apa Itu TKD dan Mengapa Penting?
Transfer ke Daerah (TKD) adalah dana yang dikirim dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk membiayai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah mulai dari gaji aparatur, pendidikan, kesehatan, hingga pembangunan infrastruktur dasar.
Jenisnya beragam: ada Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Insentif Fiskal, dan khusus untuk Aceh serta Papua, ada pula Dana Otonomi Khusus (Otsus). Keseluruhan dana inilah yang menopang roda pemerintahan daerah agar tetap berputar.
Namun di sisi lain, TKD juga menjadi cerminan ketergantungan fiskal daerah kepada pusat. Banyak kabupaten dan kota di Indonesia yang lebih dari 70 persen APBD-nya berasal dari transfer pusat. Bagi Aceh, angkanya bahkan bisa lebih tinggi, mengingat Dana Otsus masih menjadi tumpuan utama.
Dampak Pemotongan 25 Persen Bayangkan, jika aliran dana itu dikurangi seperempat, bagaimana daerah bisa bertahan?
Pemotongan 25 persen TKD berarti sebagian besar daerah akan menghadapi defisit anggaran. Proyek-proyek pembangunan jalan, irigasi, dan sekolah bisa tertunda. Pembayaran gaji ASN dan PPPK bisa tersendat. Layanan publik, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan, terancam menurun kualitasnya.
Untuk daerah seperti Aceh, dampaknya jauh lebih serius. Ketergantungan fiskal yang tinggi membuat ruang gerak pemerintah daerah sangat terbatas. Pemotongan TKD bisa berujung pada pengurangan belanja pembangunan, penundaan program ekonomi rakyat, bahkan potensi meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran.
Aceh dalam Pusaran Ketergantungan Aceh memang memiliki kekhususan dengan Dana Otsus, namun tidak berarti bebas dari ancaman krisis fiskal. Apalagi, Dana Otsus sendiri bersifat menurun dan memiliki batas waktu. Sementara itu, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan sebagian besar kabupaten/kotanya masih tergolong kecil.
Situasi ini menunjukkan satu hal penting: daerah harus segera berbenah dan membangun kemandirian ekonomi.
Belajar dari Krisis: Waktu untuk Mandiri
Pemotongan TKD, jika benar terjadi, seharusnya menjadi momentum refleksi bagi seluruh daerah termasuk Aceh untuk tidak terus-menerus bergantung pada pusat.
Langkah yang bisa dilakukan antara lain:
Mengoptimalkan potensi pajak dan retribusi daerah secara transparan.
Menggerakkan kembali BUMD agar benar-benar produktif.
Mendorong investasi lokal yang berbasis sumber daya daerah.
Dan yang paling penting, memastikan setiap rupiah belanja publik tepat sasaran.
Kemandirian fiskal memang tidak bisa dicapai dalam semalam, namun tanpa arah yang jelas, daerah akan terus terjebak dalam lingkaran ketergantungan.
Pemotongan TKD sebesar 25 persen bukan sekadar isu teknis anggaran, tapi sinyal keras bahwa pemerintah daerah perlu mengubah pola pikir dari “penerima” menjadi “penghasil”.
Aceh dan daerah lain di Indonesia harus mulai berdiri di atas kaki sendiri, agar pembangunan dan kesejahteraan rakyat tidak terus bergantung pada kebijakan pusat yang bisa berubah sewaktu-waktu.
Opini Oleh : Iswadi Dedy.













