Bangka Belitung, Buktipetunjuk.Id — Penegakan hukum yang efektif dan adil menjadi tanggung jawab utama Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Sebagai garda terdepan dalam menjaga ketertiban dan keamanan, polisi diharapkan mampu menindaklanjuti setiap laporan masyarakat dengan cepat dan profesional. Namun, kenyataannya, sistem penanganan laporan masyarakat sering kali menemui berbagai kendala, termasuk kelalaian dalam proses penanganan oleh petugas.
Kasus pengabaian laporan oleh oknum polisi bukanlah hal baru. Fenomena ini terus menjadi sorotan publik dan kerap kali berimbas pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Sebagai penegak hukum yang berlandaskan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Polri diwajibkan menjunjung tinggi prinsip profesionalitas, akuntabilitas, dan transparansi dalam menjalankan tugasnya.
“Polisi seharusnya memegang teguh tanggung jawab ini,” ujar Restu Palgunadi, seorang aktivis dan praktisi hukum, dalam sebuah diskusi yang digelar pada Senin (14/10/2024). Ia menekankan pentingnya pengawasan terhadap kinerja Polri dalam menindaklanjuti laporan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana atau pelanggaran hukum. “Jika laporan masyarakat diabaikan, ini tidak hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga merusak fondasi hukum yang kita junjung.”
Pasal 15 dan 19 dalam UU Kepolisian secara tegas mengatur bahwa setiap laporan masyarakat harus segera ditindaklanjuti. Kelalaian dalam hal ini tidak hanya berdampak buruk secara moral, tetapi juga dapat berimplikasi hukum bagi petugas yang lalai. Bahkan, Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkap) No. 14 Tahun 2012 mengatur bahwa penyidikan harus dilakukan secara profesional, transparan, dan akuntabel. Kegagalan dalam menjalankan tugas tersebut dapat memicu sanksi administratif hingga pidana bagi petugas yang bersangkutan.
Restu menambahkan bahwa fenomena ini tak lepas dari masalah yang lebih mendalam, seperti ketidakmampuan sumber daya manusia, masalah internal, atau tekanan eksternal yang memengaruhi independensi polisi dalam menjalankan tugas. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya reformasi berkelanjutan di tubuh Polri.
Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, Ombudsman RI, dan Komnas HAM, menurut Restu, memegang peran strategis dalam mengawasi kinerja aparat, terutama ketika terjadi pelanggaran atau kelalaian. Ia juga menekankan pentingnya masyarakat memiliki akses yang mudah untuk melaporkan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh aparat tanpa merasa diintimidasi atau takut akan ancaman dari pihak berwenang.
Restu juga menyoroti Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur tentang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara, termasuk anggota kepolisian. “Jika aturan ini dijalankan dengan tegas, akan ada efek jera yang jelas bagi petugas yang lalai atau menyalahgunakan kekuasaannya,” tegasnya.
Sebagai penutup, Restu mengajak masyarakat untuk terus mengawasi kinerja kepolisian dengan kritis dan aktif melaporkan penyimpangan yang ditemukan. “Profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas harus menjadi dasar bagi setiap langkah kepolisian. Pengkhianatan terhadap nilai-nilai ini adalah ancaman serius bagi penegakan hukum di Indonesia,” tandasnya.
Harapannya, ke depan Polri dapat terus melakukan pembenahan internal agar mampu mengembalikan kepercayaan publik. Dengan demikian, penegakan hukum yang adil dan merata bisa diwujudkan demi kepentingan seluruh masyarakat.
(Red)