Opini oleh Iswandi (Dedy)
Subulussalam Aceh,Buktipetunjuk.id –
Ketika jaksa turun ke desa menyampaikan penyuluhan hukum, harapan masyarakat begitu sederhana: agar hukum tidak hanya hadir di ruang sidang, tetapi hidup di tengah kehidupan sosial mereka. Namun realitas sering berbicara lain. Tak lama setelah sosialisasi digelar, pelanggaran hukum kembali terjadi.
Di titik inilah muncul pertanyaan yang menggelitik nurani: apakah Kejaksaan ikut menanggung beban moral ketika masyarakat tetap melanggar hukum yang baru saja disosialisasikan?
Secara hukum tentu tidak. Kejaksaan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas pilihan individu yang melanggar. Namun secara moral kelembagaan, jawabannya adalah iya. Sebab sosialisasi hukum bukan sekadar acara seremonial atau rutinitas tahunan, melainkan wujud tanggung jawab moral negara untuk mencerdaskan kesadaran hukum rakyatnya.
Kejaksaan memikul peran ganda: penegak hukum sekaligus pendidik masyarakat hukum. Karena itu, keberhasilan sosialisasi tidak dapat diukur dari jumlah peserta atau spanduk kegiatan, melainkan dari perubahan perilaku warga terhadap hukum. Jika pelanggaran masih berulang, berarti ada yang perlu dikaji ulang – apakah metode penyuluhan terlalu teknis, terlalu singkat, atau tidak menyentuh realitas sosial warga.
Sebuah lembaga penegak hukum yang berjiwa edukatif akan menjadikan setiap pelanggaran bukan sekadar bahan tuntutan, tetapi juga bahan pembelajaran. Dengan begitu, hukum tidak hanya menakutkan, tetapi juga mencerahkan.
Pada akhirnya, beban moral Kejaksaan bukanlah beban yang memalukan, melainkan panggilan untuk terus memperbaiki cara berkomunikasi hukum dengan rakyat. Karena tujuan akhir dari hukum bukan hanya menindak yang salah, tetapi membentuk manusia agar tidak lagi salah.(Dedy).













