PAKAR HUKUM PIDANA FH UMM KRITIK MAHFUD MD DAN JIMLLY ASSHIDDIQIE : EDI RIBUT HARWANTO SEBUT IJASAH JOKO WIDODO MASUK KATA GORI NOTOIRE FAITEN NOTORIOUS 

Jakarta,Buktipetunjuk.id Pakar hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Metro (UMM) Asst.Prof. Dr Edi Ribut Harwanto, S. H., M.H., C. LAd., C.CM. C.LC., C.MT mengkritik pendapat Prof. Dr Mahfud MD mantan Menkopolhukam, yang menyatakan, bahwa kasus tersangka Roy Suryo CS akan di niet ontankelijke verklaard (tidak diterima) atau NO oleh pengadilan, karena untuk menguji ijazah presiden ke-7 Joko Widodo yang diduga palsu harus di buktikan melalui keputusan pengadilan terlebih dahulu, sebelum ke proses pidana pencemaran nama baik diperiksa. Faktanya, ijazah milik Joko Widodo kata polisi identik asli bukan asli. Pandangan Mahfud MD disiarkan di berbagai media media nasional di Indonesia sehingga menjadi opini public dan menimbulkan kesan penyidik polri tidak professional dalam penanganan kasus ini. Hal itu disampaikan Edi Ribut Harwanto kepada wartawan, Kamis (13/11/2025) pagi di kampus Fakultas Hukum UM Metro pada sesi wawancara via telpon sekaligus menanggapi pertanyaan awak media terkait pandangan Prof Dr. Mahfud MD ahli hukum tata negara.

Pandangan lain juga disampaikan oleh Prof. Dr Jimly Asshiddiqie yang menyatakan kasus Roy Suryo CS soal ijasah bukan kasus pidana tetapi kasus masalah administratif dan tranparansi dokumen public dan kasus ini semestinya di bawa ke PTUN bukan ke kepolisian. Kata Edi, yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Metro, secara keilmuan kedua tokoh ini memang handal di bidang keilmuannya dan bahkan sudah berulang kali menjadi pejabat negara yang khusus menangani masalah masalah hukum secara nasional, sehingga pandangan pandangan hukum kedua tokoh ini tidak diragukan lagi ke akuratnya dan cukup berpengaruh di ruang lingkup public, admisi, praktisi dan aparat penegak hukum khususnya advokat, polri, jaksa dan hakim. Namun, khusus dalam perkara dugaan ijasah palsu Joko Widodo, saya berpendapat, tidak bermaksud menggurui dua tokoh hukum nasional yang focus keilmuan dan kepakarannya di bidang hukum tata negara, bukan ahli dibidang hukum pidana,” ujar Edi Ribut Harwanto.

Khusus menanggapi pandangan Mahfud MD, yang mengatakan, bahwa perkara dugaan ijasah palsu harus di uji terlebih dahulu ke pengadilan yang berbeda untuk memastikan bahwa ijasah tersebut adalah asli atau tidak dan terdapat putusan pengadilan yang menyatakan ijasah Joko Widodo adalah asli dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Pandangan Mahfud MD, saya nilai tidak tepat dan itu lebih pada persepsi dan paradigma secara pribadi yang lebih condong pada pada sudut pandang pakar hukum tata negara. Menurut Edi, ketentuan pasal 184 ayat (2) UU No 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, sudah dijelaskan,”hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” Dalam istilah hukum makna dari pasal tersebut adalah, notoire faiten notorious (generally known) yang berarti setiap hal yang sudah umum diketahui tidak lagi perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Dalam masalah ini, Rektor UGM Eva Emilia secara resmi menegaskan bahwa ijasah Joko Widodo asli dan sah. Peryataan ini didasarkan dari dokumen otentik yang dimiliki UGM yang mencakup keseluruhan proses pendidikan Joko Widodo di UGM dari penerimaan hingga kelulusan hingga kelulusan tangal 5 November 1985. UGM telah menyatakan beberapa kali bahwa Joko Widodo adalah alumni resmi dan ijasahnya diberikan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Fakta hukum memperlihatkan bahwa, secara umum publikasi dan pernyataan resmi rektor UGM dapat di nilai sebagai suatu keadaan hukum dimana isi dari pemberitahuan ke public dimaksudkan dan bertujuan untuk memberikan informasi secara umum dan untuk diketahui oleh umum atas adanya suatu peristiwa tertentu dan sekaligus memverifikasi memvalidasi dokumen ijasah agar tidak di salah gunakan untuk kepentingan yang diluar aturan hukum.

Walaupun notoire faiten notorious (generally known) tidak masuk dalam ranah pembuktian, namun dapat menjadi rujukan umum dalam pembuktian untuk menambah keyakinan hakim, dengan diperkuat dan diharmonisasikan dengan ketentuan alat bukti lain sebagimana di matur dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Secara umum, public sudah mengetahui dan secara khusus tentunya penyidik Polda Metro Jaya telah memeriksa rektor UGM, melakukan uji forensic terhadap kertas ijasah, kop surat, stempel ijasah, foto, tanda tangan, semuanya identik asli secara faktual melalui uji saintifikasi yang professional dan memeriksa pakar atau ahli dibidang bidangnya. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP,”alat bukti yang sah adalah, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Dalam hal ini, penyidik telah memeriksa 152 saksi dengan menyita 723 bukti, dengan memeriksa ahli ITE, ahli hukum pidana, ahli komunikasi social, ahli bahasa, ahli sosiologi hukum. Hal ini menunjukan penyidik Polda Metro Jaya tentu bertindak hati hati dalam prosen penyidikan juga dalam melakukan penerapan pasal pasal di persangkaan kepada delapan tersangka.

Mengenai pandangan Mahfud MD, untuk menentukan asli dan tidaknya ijasah Joko Widodo, bukan ranah polisi tetapi ranah hakim melalui proses pemeriksaan di putusan pengadilan. Hal ini juga harus diperhatikan, perlu diketahui, bahwa polri, jaksa dan hakim itu adalah satu kesatuan lembaga penegak hukum mewakili negara, dimana masing masing APH dalam proses hukum tentu berpedoman pada system hukum acara pidana KUHAP. Persepsi bukan wilayah polisi untuk menentukan asli dan tidaknya ijasah Joko Widodo itu, Mahfud MD, tentu sudah mengetahui KUHAP, tidak ada polri mengambil kesimpulan bahwa ijasah Joko Widodo asli, semua melalui proses pemeriksaan, penyidik meyakini bahwa ijasah itu identik asli, karena penyidik telah menemukan bukti petunjuk, bukti surat otentik yaitu ijasah asli Joko Widodo, keterangan ahli, keterangan rektor UGM, sehingga tidak ada salahnya penyidik meyakini hal itu dan menemukan unsure delik yang dilanggar para tersangka, dan nanti akan diurai mengenai perbuatan para tersangka dan sekaligus pembuktian ijasah Joko Widodo di ruang sidang yang sama. Hal ini juga diatur didalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP mengenai kewenangan penyidik polri, menerima laporan, melakukan tindakan pertama, memeriksa identitas, melakukan penangkapan, pengeledahan, penahanan, penyitaan dan kewenangan lain yang diatur di dalam Pasal 16 UU No 2 Tahun 2002 Tentang Polri. Mengenai pandangan Mahfud MD bahwa ia meminta nanti hakim yang mengani perkara harus mampu memutus memutar balikan fakta hukum dan prediksi nanti akan di putus NO, saya kita itu cukup berlebihan. Analisis itu terlalu dini untuk disampaikan, karena untuk memutus NO terminologi hukum dalam ranah peradilan pidana tidak dikenal istilah niet ontankelijke verklaard (tidak diterima) atau NO. NO hanya di kenal dalam putusan putusan kasus putusan yang menyatakan gugatan tidak diterima karena ada cacat formil dan gugatan. Dasar Putusan NO di peradilan perdata jika gugatan tidak memenuhi syarat formil pada gugatan yang membuat pengadilan menunda pemeriksaan pokok perkara, seperti gugatan tidak memenuhi syarat kompetensi relative (tempat tingal tergugat), obccuur libel (gugatan kabur), atau gugatan kurang pihak (plurium litis consortium), gugatan tidak memiliki dasar hukum, gugatan ne bis in idem. NO dapat mengacu pada Pasal 118 HIR, 142 RBG, 124 HIR dan pasal 147 RBG. akan Penyebutan NO saja sudah tidak tepat dalam peradilan pidana.

Dalam kasus peradilan pidana putusan NO tidak ada, yang ada adalah putusan hakim yaitu putusan bebas (vrijspraak) kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, terdakwa di bebaskan dari segala tuntutan (Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Putusan lepas dari segala tuntutan (onslag van alle recht vervoging) perbuatan terdakwa terbukti tetapi perbuatanya tersebut tidak merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Dan terakhir putusan pemidanaan ketika terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakanya (Pasal 193 ayat (3) KUHAP. Dari pertimbangan hukum tersebut diatas, maka saya sebagai seorang akademisi konsen pada kepakaran ilmu hukum pidana, merasa terpanggil untuk melakukan kritik atas pandangan Mahfud MD karena beliau adalah dosen saya saat saya menempuh PDIH Undip Semarang dan saya sangat menghormati beliau, namun dalam hal keilmuan saya saya pendang ada ketidakpuasan terhadap hal hal yang di sampaikan ke public, maka sebagai mantan anak didiknya karena panggilan nurani keilmuan saya sehingga perlu saya diluruskan sebagai kritik antara anak ke bapak,” kata Edi Ribut Harwanto.

Selanjutnya mengapi pandangan Prof. Dr Jimly Asshiddiqie yang menyatakan kasus Roy Suryo CS soal ijasah bukan kasus pidana tetapi kasus masalah administratif dan tranparansi dokumen public dan kasus ini semestinya di bawa ke PTUN bukan ke kepolisian, itu pandangan yang tidak tepat. Merujuk ketentuan Padal 63 ayat (2) KUHP, lec spesialis drogat legi generali, peraturan lebih khusus mengkesampingkan peraturan lebih umum. Dan, semestinya, penyidik Polda Metro Jaya menambahkan pelanggaran dugaan UU Keterbukaan Informasi Publik dan UU Data Pribadi selain UU ITE. Jika Jimly Asshiddqie mengatakan itu masalah administratif berkaitan dengan dokumen public, maka saya akan mengajak public masuk ke ranah hukum public yang telah diatur oleh uu. Pasal 6 ayat (3) huru c UU No 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, telah di jelaskan secara hukum, bahwa “informasi publik yang tidak dapat diberikan oleh badan publik adalah, informasi yang berkaitan dengan hak hak pribadi” Badan publik dilarang membuka dokumen yang bersifat pribadi atau menyangkut hak hak pribadi. Seperti sikap tegas Joko Widodo menolak untuk menunjukan atau membuka dokumen pribadi berupa ijasah kepada pihak ketiga yang mempersoalkan tentang keabsahan ijasahnya.

Perlu dipahami, bahwa, didalam ketentuan hukum Pasal 1 angka ke-1 UU No 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dijelaskan, dalam teks bahasa hukum informasi dimaknai secara yuridis adalah, “keterangan , peryataan, gagasan dan tanda tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan baik data , fakta maupun penjelasanya yang dapat dilihat di dengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik maupun non elektronik”. Artinya, siapapun pihak ketiga, yang meminta informasi kepada Joko Widodo secara langsung terkait keinginan untuk melihat ijasah aslinya, maka pemilik ijasah berhak menolak, karena tidak ada kewajiban hukum seorang Joko Widodo warga Negara sipil biasa dan bukan pejabat publik lagi untuk diminta menunjukan dokumen yang menjadi hak miliknya untuk dibuka ke publik. Kecuali, kewajiban itu dibenarkan oleh hukum, jika pihak ketiga itu meminta kepada badan publik, yaitu lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara yang sebagian mengunakan atau seluruhnya dananya bersumber dari APBN atau APBD atau organisasi pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya operasionalnya bersumber dari APBN atau APBD, sumbangan masyarakat dan atau luar negeri. Universitas Gajah Mada (UGM) merupakan perguruan negeri dimana sebagian atau sepenuhnya mengunakan anggaran APBN, sehingga masuk sebagai badan publik dalam rangka memenuhi untuk menyampaikan dokumen yang berkaitan dengan institusi lembaga perguruan tinggi.

Lanjut Edi Ribut Harwanto, yang juga seorang advokat yang berkantor di Gedung Jaya Lantai 9 Jakarta Pusat ini, publik perlu mengetahui bahwa., ijasah milik Joko Widodo itu termasuk dokumen data pribadi. Dalam Pasal 1 angka ke-1 UU No 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data pribadi (PDP), dijelaskan, “data pribadi adalah data tentang orang perseorangan yang teridentifikasi atau dapat di indentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui system elektronik atau non elektronik”. Dan, subjek hukum data pribadi adalah perorangan yang pada dirinya melekat data pribadi (Pasal 1 angka ke-6 UU No 27 Tahun 20022 Tentang PDB). Hal itu, berhubungan dengan data pribadi, perorangan pribadi beserta ijasah SD., SMP, SMA, S1, KTP, Foto, Sertifikat sertifikat harta bendanya, dll milik Joko Widodo merupakan bagian dari data pribadi miliknya yang dilindungi oleh UU. Oleh sebab itu, siapapun pihak ketiga, yang sengaja mengunakan data pribadi secara melawan hukum untuk memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang mengakibatkan kerugian subjek data pribadi. Maka, didalam ketentuan pidana Pasal 67 sampai dengan Pasal 73 mengatur sanksi pidana 5 sampai dengan 6 tahun penjara dan denda mulai dari Rp 4 miliar sampai dengan Rp 6 miliar rupiah.

Selanjutnya, sanksi pidana juga dapat dijerat kepada pihak ketiga, jika pihak ketiga cara mendapatkan data pribadi atau dokumen pribadi ijasah milik Joko Widodo di dapat dengan cara melawan hukum, mengakses tanpa hak atau memperoleh atau memberikan informasi dengan tidak meminta kepada badan publik yang sah yang memiliki kompetensi dan otoritas serta hak hukum untuk membuka atau menyampaikan informasi menurut peraturan perundang-undangan dan tanpa izin pemilik data pribadi secara langsung. Didalam ketentuan pidana Pasal 51 sampai dengan 57, UU No 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Terhadap siapapun setiap orang yang dengan sengaja mengunakan informasi publik secara melawan hukum maka diancam pidana 1 sampai dengan 2 tahun penjara dan denda mulai dari Rp 5 juta rupiah sampai dengan Rp 20 juta rupiah.

Edi Menjelaskan, yang dimaksud dengan mendapatkan informasi publik dengan cara melawan hukum adalah, pihak ketiga penguna informasi publik ketika mendapatkan data pribadi atau dokumen didapat secara tidak resmi/ illegal, sehingga dokumen tersebut tidak valid yang menimbulkan konflik hukum yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan pemilik dokumen data pribadi yang dimaksud. Dalam aturan undang-undang, ketika penguna informasi ingin mengunakan data pribadi atau dokumen dokumen, telah diatur sebagai pemohon informasi secara prosedural dimana tujuan untuk meminta infomasi publik juga harus dijelaskan oleh pemohon informasi untuk tujuan meminta infomasi publik. Dan, jika tujuan meminta infomasi publik disalah gunakan oleh pemohon informasi publik diluar tujuan, maka hal itu dapat berdampak hukum bagi pemohon informasi publik.” jelas Edi Ribut Harwanto.

“Jadi menurut analisis saya dari kacamata hukum pidana, polri memiliki hak hukum sesuai tugas dan kewenangannya untuk melakukan proses hukum selanjutnya. Berkaitan dengan pandanga kasus ini semestinya di bawa ke PTUN, memiliki kewenangan sengketa umum dan khusus, sengketa umum tentang kepegawaian, lingkungan hidup, pengadaan barang, badan hukum dan partai politik, kepala desa dan perangkat desa, proses pemilihan umum, sengketa batas wilayah antar pemerintah dan sengketa khusus keterbukaan informasi public berdasarkan UU No 14 Tahun 2008 dan pengadaan tanah kepentingan umum berdasarkan UU No 2 Tahun 2012. Subjek hukum sengketa adalah penggugat seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentinganya dirugikan oleh keputusan tata usaha negara. Tergugat badan hukum atau pejabat tata usaha negara pemerintah baik dipusat maupun di daerah. Obyek keputusan tata usaha negara (beschikking) seperti surat keputusan penetapan atau tindakan administrative pemerintah lainya bersifat tertulis. Lalu pertanyaannya, apa yang dirugikan secara langsung Roy Suryo CS atas penerbitan ijasah Joko Widodo, dan subyek hukum tergugat, bukan pejabat negara lagi.

Tentu, jika mau menggugat obyek hukum yang memiliki legal standing yang otentik adalah rektor dan dekan UGM, karena merekalah yang di rugikan secara langsung, jika ada dugaan ijasah palsu yang mencatut nama tanda tangan rektor dan dekan serta institusi UGM. Namun, yang memiliki legal standing menerbitkan ijasah mengakui ijasah tidak ada masalah dan asli dan sah dikeluarkan oleh UGM, hal ini merupakan keputusan yang sah yang di ucapkan oleh pejabat yang berkompeten dan legal. Maka, wajar jika tiga kali gugatan perdata selalu di putus NO kelompok Roy Suryo CS dan menurut pandangan hukum saya putusan pengadilan perdata itu sudah tepat dan sesuai dengan hukum acara perdata. Mengenai pandangan perkara ini harus diselesaikan mekanisme PTUN, karena berurusan dengan sengketa informasi public, maka badan publiknya tergugat nya adalah badan public negara termasuk dalam hal ini adalah UGM sebagai badan public dan pengugatnya kelompok Roy Suryo CS dan rekan rekan. Saat ini fakta hukum, justru Joko Widodo yang digugat yang paling dominan untuk digugat secara perdata dengan gugatan perbuatan melawan hukum. Jika, gugatan ke PTUN terkait sengketa informasi public, maka sebelum mengajukan gugatan harus melalui mediasi non litigasi melalui Komisi Informasi Publik (KIP). Hal itu di atur didalam ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU No 14 Tahun 2008 Tentang KIP. “Ini sebagai pembelajaran hukum secara nasional, dan sebagai seorang akademisi perlu untuk menyuarakan gagasan kritis untuk mencerdaskan umat dan mencerahkan dalam hal pemahaman dan penerapan hukum jagan sampai terjadi malpraktek hukum di tengah masyarakat,”tegas Edi Ribut Harwanto. (Red**)

 

 

banner

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *