JAKARTA,BUKTIPETUNJUK.ID –Pegawai Non-ASN atau nama lainnya wajib di selesaikan penataan nya paling lambat bulan Desember 2024 dan sejak undang undang ini mulai berlaku instansi pemerintah dilarang mengangkat pegawai Non-ASN atau nama lain selain pegawai ASN. Hal itu juga diperkuat dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No: 1119 /PUU-XXII/2024 tangal 3 Oktober 2024 yang menolak seluruhnya permohonan uji materil pasal 66 UU ASN yang diajukan oleh Dhisky, S.S., M.Pd., M.Si salah seorang guru honorer Kelurahan Mangarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Oleh sebab itu, pengangkatan pegawai Non-ASN pada periode Desember 2024 keatas, berpotensi besar melakukan perbuatan melawan hukum yang dapat di ancam, sanksi administratif dan sangksi pidana bagi yang melakukan pelanggaran tersebut.
Hal tersebut di katakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Metro Asst. Prof. Dr. Edi Ribut Harwanto, S.H., M.H., C.LAd, C. LC., C.CM., C.MT saat dimintai pendapat hukum oleh para wartawan di Jakarta Minggu (21/9/2025) sore. Menurut pakar hukum pidana ekonomi alumni Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Undip Semarang ini, penegasan larangan pengangkatan pegawai Non-ASN terhitung sejak Desember 2024 telah di tuangkan dalam teks UU No 20 Tahun 2023 dalam ketentuan Pasal 66 yang diperkuat dengan Putusan MK yang menolak keseluruhan permohonan uji materil Pasal 66 UU No 20 Tahun 2023. Pasal yang di uji ke MK adalah Pasal 66, yaitu berbunyi,“Pegawai Non-ASN atau nama lainnya wajib di selesaikan penataanya paling lambat Desember 2024 dan sejak undang undang ini mulai berlaku instansi pemerintah dilarang mengangkat pegawai non-ASN”. Menurut pandangan Hakim Ketua Suhartoyo dan tujuh hakim anggota lainnya, Pasal 66 telah memberikan kepastian hukum yang adil dan perlindungan hukum yang tidak bersifat diskriminatif, sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1)., Pasal 28D ayat (2) UU RI Tahun 1945, bukan sebagaimana yang didalilkan oleh pemohon . Dengan demikian dalil dalil pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Putusan MK ini memperkuat ketentuan Pasal 66 UU No 20 Tahun 2023 Tentang ASN. Selanjutnya, di tegaskan Pasal 65 ayat (1), di tegaskan,” pejabat Pembina kepegawaian dilarang mengangkat pegawai non-ASN untuk mengisi jabatan ASN”. Ayat (2) “Larangan sebagaimana di maksud ayat (1) berlaku juga bagi pejabat lain di instansi pemerintah yang melakukan pengangkatan pegawai non-ASN.”Ayat (3),” pejabat Pembina kepegawaian atau pejabat lain sebagaimana di maksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang mengangkat pegawai non-ASN untuk mengisi jabatan ASN dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. “Seluruh pejabat Pembina atau pejabat lain di instasi pemerintah tidak boleh mengangkat pegawai Non-ASN mulai periode Desember 2024 hingga kini,”kata Edi Ribut Harwanto yang juga seorang pengacara senior di Jakarta ini.
Saat mendapat pertanyaan wartawan, bagaimana dampak hukum terhadap pejabat Pembina atau pejabat lain yang melakukan pengangkatan pegawai Non-ASN pada periode Desember 2024, apakah ada sangksi pidana ? Menjawab pertanyaan wartawan, Edi Ribut Harwanto menjelaskan, bahwa bagi pejabat pembina atau pejabat lain yang melakukan pelanggaran maka terancam dua sangksi sekaligus. Pertama, sanksi pidana secara mandiri dan sanksi administratif terhadap institusi pemerintah daerah jika terjadi pelanggaran.
Sanksi administrative pertama, terhadap pemerintah daerah dimana pejabat Pembina atau pejabat lain, melakukan perbuatan melawan hukum dengan melakukan pengangkatan pegawai Non-ASN sehingga mempengaruhi belanja pegawai melebihi angka 30 persen diluar tunjangan guru sebagaimana di atur didalam ketentuan Pasal 146 ayat (1) dan ayat (2), maka sesuai ketentuan Pasal 148 daerah dapat dikenakan sangksi penundaan dan atau pemotongan dana TKD yang tidak ditentukan penggunaanya. Sanksi kedua, jika ada pejabat Pembina atau pejabat lain tetap melaksanakan melakukan rekrutmen pegawai non-ASN masa periode Desember 2024 maka, potensi terjadinya kerugian keuangan negara yang bersumber dana APBD untuk memberikan honorarium kepada pegawai Non-ASN dapat di kategorikan perbuatan melawan hukum atau pelanggaran hukum berpotensi merugikan keuangan negara dan perekonomian negara. Kata Edi, unsur unsur tindak pidana korupsi yang relevan pertama adalah, adanya penyalahgunaan wewenang, jika pembayaran dilakukan oleh pihak yang berwenang untuk mengelola keuangan, namun menyalah gunakan posisinya dalam proses pembayaran. Selanjutnya ada keuntungan pribadi atau orang lain, tujuannya adalah mendapatkan keuntungan financial atau bentuk lain yang tidak sah, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Selanjutnya melawan hukum, proses pembayaran tersebut tidak sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, ada kerugian negara atau keuangan negara, perbuatanya tersebut harus benar benar menimbulkan kerugian negara atau menyebabkan pengeluaran yang tidak seharusnya. Sehingga, jika memenuhi empat unsur tersebut diatas, maka pejabat Pembina atau pejabat lain dapat dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling sedikit 200 juta. Pasal 3 UU Tipikor,”setiap orang yang menyalah gunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana kerena jabatan atau kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, dapat dihukum penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda sedikitnya Rp 50 juta paling banyak Rp 1 miliar rupiah.”. Didalam ketentuan UU No 1 Tahun 2024 Tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 59 ayat (2) Bab XI Penyelesaian Kerugian Negara,” bendahara pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain yang karena perbuatanya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara wajib menganti kerugian tersebut”. Pasal 60 ayat (2),”segera setelah kerugian negara tersebut diketahui kepada bendahara pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain yang nyata nyata melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya sebagaimana di maksud didalam ketentuan Pasal 59 ayat (2) segera dimintakan surat peryataan kesanggupan dan atau pengakuan bahwa kerugian tersebut menjadi tangung jawab nya dan bersedia mengganti kerugian negera dimaksud”. “Penanggung jawab keuangan bendahara umum daerah bertanggung jawab kepada gubernur, bupati, walikota dari segi hak dan ketaatan kepada peraturan atas pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran yang dilakukanya, berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (4). Setidaknya didalam ketentuan UU ini, pasal 73 ketentuan pelaksanaan tindak lanjut UU ini berlaku 1 tahun sejak UU ini di undangkan tanggal 14 Januari 2024, dan UU berlaku sejak di undangkan Pasal 74, ” kata Edi.
Lanjut Edi, menjawab pertanyaan wartawan jika ada kepala daerah gubernur, walikota dan bupati di Indonesia yang mengalami masalah dengan THL dan atau tetap melaksanakan diskresi untuk tetap melanjutkan mempertahankan pegawai Non-ASN tetap dipekerjakan di pemerintahan dan tetap menerima honorarium yang bersumber dari APBN maka hal itu para kepala daerah di Indonesia harus memperhatikan UU No 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam melaksanakan diskresi atau kebijakan terkait rekrutmen pegawai non-ASN periode Desember 2024, maka yang harus di perhatikan ketentuan Pasal 23,” diskresi pejabat pemerintahan meliputi, “pengambilan putusan dan atau tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan yang memberikan satu pilihan keputusan atau tindakan. Kedua, pengambilan keputusan dan atau tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur. Ketiga, pengambilan keputusan dan atau tindakan karena peraturan perundang undangan tidak lengkap atau tidak jelas dan pengambilan putusan dan atau tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. Sehingga pejabat tata usaha negara dalam hal ini kepala daerah, jika akan mengambil diskresi berkaitan dengan pengangkatan pegawai non-ASN atau THL periode Desember 2024 harus memperhatikan ketentuan Pasal 23 tersebut diatas. JIka, tidak memenuhi empat sarat tersebut diatas, maka diskresi yang dilakukan merupakan perbuatan pelanggaran hukum yang dapat di ancam pidana oleh undang undang, jika diskresi tersebut bertentangan dengan undang-undang yang telah mengaturnya. “Kepala daerah boleh mengambil kebijakan tertentu lewat dikresi, namun dikresi tersebut jika ada aturan yang mengatur tidak ada kekosongan hukum maka diskresi tidak di benarkan oleh hukum. Jika, diskresi di laksanakan oleh kepala daerah karena suatu keadaan yang memaksa sekalipun, yang pada akhirnya kepala daerah menanda tangani surat surat uang menimbulkan perikatan secara keperdataan, maka hal itu akan masuk ranah perdata yang harus tunduk pada ketentuan Pasal 1320 BW.
Syarat sahnya suatu perjanjian, kesepakatan kedua belah pihak tidak ada unsur paksa, kecakapan para pihak, karena suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Satu yang dilanggar saja di poin empat, karena suatu sebab yang halal, artinya kesepakatan tidak boleh bertentangan dengan uu, maka kesepakatan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Dalam kacamata hukum perdata, dapat dibatalkan (voidable) syarat subyektif yaitu yang dilanggar kesepakatan dan kecakapan para pihak. Kedua, batal demi hukum (void) syarat yang dilanggar syarat obyektif yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Maksud perjanjian ini dianggap tidak sah dianggap tidak pernah ada sejak awal dan tidak memiliki akibat hukum apapun karena cacat hukum yang mendasar. “Saya mengingatkan kepada seluruh kepala daerah di Indonesia, karena masalah pengangkatan pegawai non-ASN adan atau THL terjadi dimana mana menjadi masalah nasional, maka harus memperhatikan regulasi aturan aturan hukum positif yang telah ada,”kata Edi Ribut Harwanto.(**)
(Red)