Catatan Dr. Suriyanto Pd, SH, MH, M.Kn.
Buktipetunjuk.id –Cermin Kepemimpinan publik akan kokoh jika diawali dengan individu-individu pemimpin yang sukses di dalam rumah tangganya. Bagaimana bisa sukses urusan publik yang banyak dan rumit permasalahannya, kalau dalam kepemimpinan yang terkecil, keluarga, berantakan. Ini pakem yang jadi pegangan kita dalam memilih calon pemimpin Indonesia di masa mendatang.
Sebelum kita berbicara tentang kepemimpinan publik, setiap individu hendaknya mempersiapkan spektrum kepemimpinan yang terkecil, yaitu keluarga. Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang.
Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati.
Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).
Pemimpin itu harus berproses bukan tiba-tiba melompat
Pemimpin itu tidak suddenly.Tidak tiba-tiba pemimpin itu harus berproses dan, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang pernah jadi anak buah yang baik. Karena kalau dengan pengalaman kepemimpinan yang ada sebagai guru, maka dia tidak hanya mengembangkan bakat genetika yang dia miliki, tetapi dia berproses dari pengalaman dan tantangan. Mungkin saja pemimpin yang baik adalah pemimpin yang jatuh bangun dengan kegagalan sampai bisa saja sepeti itu.
Oleh karena itu, belajar dari proses-berproses, melalui tahapan-tahapan dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi. Bukan pemimpin yang tiba-tiba melompat melampaui kemampuannya sendiri. Bukan pemimpin hasil cangkokan untuk kepentingan kelompok tertentu saja.
Seorang pemimpin diuji dengan tantangan. Makin tinggi jabatan,maka tantangan pasti makin besar. Fitnah,caci makitidak akan pernah putus.Begitu pula sebaliknya,kekurangan seorang pemimpin makin tinggi makin terlihat.Makanya tidak gampang menjadi pemimpin yang sukses dan baik.
Pemimpin yang hanya menghabiskan periodesasinya atau pemimpin yang hanya mengejar pangkat dan materi atau memperpanjang kekuasaan dengan membangun dinasti, bukanlah pemimpin yang baik. Pemimpin ideal itu adalah mereka yang mampu mencapai kesuksesan dari suatu hal yang memang bisa dinikmati orang yang banyak, makanya pemimpin ideal itu hanya ada kalo terdapat dukungan dari orang-orang yang di pimpinya, bukan dukungan buzzer. Tidak ada pemimpin tanpa dukungan rakyat.
Memang menjadi sebuah pertanyaan besar bagaimana menghadirkan pemimpin ideal seperti diatas jika rakyat ternyata melihat bahwa memilih pemimpin adalah dengan uang lalu menghitung berapa dia dapati. Ini tentu menjadi tantangan , seakan-akan demokrasi itu hanya suatu proses yang sebebas-bebasnya untuk mencapai suatu jenjang kedudukan serta jabatan. Padahal, demokrasi adalah proses yang terbaik untuk menyeleksi kepemmpinan sesuai kapabilitas, kapasitas,integritas,dan berbagai kemampuan lain yang dipersyaratkan untuk memimpin.
Itu sebabnya, pemimpin yang baik jangan kebetulan dia punya partai,dia punya uang , bahkan menggunakan uang dan kekuasaan sebab itu bersifat instan. Pemimpin ideal itu bukan tiba-tiba muncul. Bukan ujug-ujug. Pemimpin itu harus berproses, sebab makin tinggi kepemimpinan yang dikejar oleh pemimpin itu, seleksinya memang harus makn besar, begitu juga vaiabel-variabel yang di pakai harus kuat. Kalau ada pemimpin yang secara instans hanya karena lucky , hanya keberuntungan , maka hasilnya tidak akan pernah dicapai secara maksimal. Toh, pemimpin itu bukan hadir secara tiba-tiba!
Seorang pemimpin tidak boleh mencla-mencle, dowo lambene, pagi dele sore tempe, aliasa tidak bisa dipegang ucapannya.
Dalam istilah Jawa, ada ungkapan “Sabda pandita ratu, tan kena wola wali”. Ungkapan tersebut merupakan filsafat kepemimpinan Jawa yang mengajarkan tentang keharusan seorang pemimpin bersikap konsisten dalam tutur katanya. Ungkapan tersebut berarti bahwa seorang pemimpin tidak boleh berganti-ganti ucapan atau keputusan. Sebab, ucapan seorang pemimpin akan menjadi rujukan, pedoman, dan putusan hukum.
Karena itu, seorang pemimpin tidak boleh bersikap mencla-mencle ketika ucapan atau keputusannya bermasalah di kemudian hari. Ini juga dapat berarti bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin harus dilakukan dengan bijaksana, sebab konsekuensi dari keputusannya menyangkut rakyat banyak.
Sayangnya, hari ini ajaran luhur tersebut tidak lagi dihiraukan oleh pemimpin negeri ini. Buktinya, ketika beberapa keputusan yang dibuatnya dahulu, ternyata terbukti bermasalah saat ini, pemimpin negeri ini banyak berkilah atau dalam istilah orang Jawa suka mencla-mencle. Sebut saja masalah terbaru terkait dengan reklamasi teluk Jakarta, tidak ada pemimpin negeri ini yang berani mengakui bahwa kebijakan atau keputusan tersebut berasal darinya.(**)
(Red).